Harta Karun Abisal: Perang Dingin Baru di Dasar Laut Terdalam untuk Menguasai Mineral Masa Depan.

sampul

Harta Karun Abisal: Perang Dingin Mineral di Dasar Laut Terdalam & Implikasi Geopolitik

harta bawah laut

Di tengah hiruk pikuk inovasi teknologi dan transisi energi hijau, perhatian dunia kini bergeser ke tempat yang paling tidak terduga: dasar laut terdalam. Apa yang sedang terjadi di sana bukan lagi sekadar eksplorasi ilmiah, melainkan babak baru “Perang Dingin Mineral” yang melibatkan kekuatan-kekuatan global. Perebutan mineral kritis seperti kobalt, nikel, tembaga, dan elemen tanah jarang (rare earths) di kedalaman abisal kini menjadi medan pertarungan pengaruh yang krusial, menentukan siapa yang akan mendominasi rantai pasokan teknologi masa depan.

Mengapa Dasar Laut Menjadi Medan Pertarungan Baru?

Permintaan global terhadap mineral-mineral ini meroket tajam seiring dengan revolusi kendaraan listrik (EV), energi terbarukan, dan perangkat elektronik canggih. Cadangan mineral di daratan mulai terbatas dan seringkali terkonsentrasi di wilayah dengan risiko geopolitik tinggi. Inilah mengapa dasar laut menjadi daya tarik yang tak tertahankan. Formasi mineral seperti polymetallic nodules, cobalt-rich crusts, dan seafloor massive sulfides (SMS) menyimpan cadangan melimpah yang diperkirakan jauh melebihi apa yang ada di darat.

Zona Clarion-Clipperton (CCZ) di Pasifik, misalnya, diperkirakan mengandung lebih dari 120 juta ton kobalt, tembaga, dan nikel dalam bentuk nodul polimetalik. Kekayaan ini menjadi tulang punggung bagi teknologi baterai, magnet super, dan berbagai komponen esensial lainnya. Tekanan untuk mengakses “harta karun abisal” ini pun meningkat secara eksponensif.

Pemain Utama dan Manuver Strategis Global

politik bawah laut

Berbagai negara dan perusahaan kini berlomba-lomba memposisikan diri dalam perebutan mineral laut dalam:

  • Amerika Serikat: Meskipun belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), AS secara agresif mendukung perusahaan-perusahaan domestiknya. Pada April 2025 (skenario hipotetis), Presiden dapat menerbitkan executive order yang mempercepat izin pertambangan dasar laut di perairan internasional. Langkah ini seringkali memicu kritik karena berpotensi mengabaikan kerangka hukum internasional dan organisasi seperti Otoritas Dasar Laut Internasional (ISA).
  • The Metals Company (TMC): Perusahaan asal Kanada ini menjadi salah satu pemain paling vokal, mengajukan permohonan izin eksploitasi di kawasan Pasifik, bahkan dengan wacana untuk memulai pertambangan tanpa menunggu kode pertambangan ISA disahkan sepenuhnya. Langkah ini menyoroti ketegangan antara ambisi komersial dan proses regulasi yang berhati-hati.
  • Jepang: Dengan ketergantungan tinggi pada impor mineral, Jepang memiliki kepentingan strategis kuat. Sejak Januari 2026 (skenario hipotetis), Jepang dilaporkan bersiap melakukan uji coba penambangan lumpur mineral langka di kedalaman 5.000–6.000 meter di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka sendiri, menunjukkan komitmen terhadap pengembangan teknologi penambangan laut dalam.
  • Tiongkok: Beijing telah lama menjadi pemimpin dalam riset laut dalam dan penguasaan rantai pasokan mineral kritis di darat. Tiongkok secara aktif memperkuat stasiun riset laut dalam dan armadanya, mengindikasikan ambisi jangka panjang untuk mendominasi eksplorasi dan eksploitasi mineral bawah laut.
  • Rusia: Meskipun aktivitasnya kurang transparan, Rusia juga menunjukkan minat pada eksplorasi laut dalam. Laporan mengenai penghidupan kembali unit sabotase bawah laut dan fokus pada infrastruktur kritis di bawah laut mengindikasikan dimensi militeristik yang semakin kompleks dalam perebutan wilayah dan sumber daya laut dalam.

Tantangan Hukum dan Regulasi Internasional

Perebutan “harta karun abisal” ini secara langsung menguji relevansi dan kekuatan kerangka hukum internasional. Otoritas Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority – ISA), yang didirikan berdasarkan UNCLOS, bertugas mengatur kegiatan di dasar laut internasional (Area) demi kepentingan seluruh umat manusia. Namun, ISA hingga saat ini belum mengesahkan kode pertambangan yang komprehensif, terutama karena pertimbangan risiko ekologis dan ketidakpastian dampak jangka panjang.

Penundaan ini menciptakan “jendela kesempatan” bagi negara-negara atau perusahaan yang ingin bergerak cepat. Tindakan unilateral, seperti yang berpotensi dilakukan oleh Amerika Serikat, dapat melemahkan rezim UNCLOS dan menciptakan preseden berbahaya. Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental: siapa yang berhak menambang, bagaimana keuntungan dibagikan, dan bagaimana lingkungan dilindungi di Area yang secara hukum adalah milik bersama?

Risiko Ekologis dan Perlawanan Publik

Salah satu hambatan terbesar bagi pertambangan laut dalam adalah kekhawatiran ekologis yang mendalam. Ekosistem laut dalam adalah salah satu yang paling rapuh dan kurang dipahami di planet ini. Aktivitas pertambangan, yang melibatkan pengerukan dasar laut, dapat menyebabkan:

  • Perusakan Habitat Permanen: Menghancurkan habitat mikroba, karang air dingin, dan fauna unik yang tumbuh sangat lambat.
  • Kepulan Sedimen (Plume): Partikel sedimen yang terangkat dapat menyebar ribuan kilometer, menutupi organisme lain dan mengganggu rantai makanan.
  • Polusi Suara dan Cahaya: Mengganggu komunikasi dan navigasi hewan laut.
  • Hilangnya Keanekaragaman Hayati: Spesies yang belum teridentifikasi bisa punah sebelum sempat dipelajari.

Organisasi lingkungan dan ilmuwan telah menyuarakan peringatan keras. Tekanan publik dan investor juga mulai memengaruhi keputusan bisnis. Banyak perusahaan terkemuka, seperti First Solar, BMW, Volvo, Google, dan Samsung SDI, telah menyatakan penolakan terhadap pertambangan laut dalam hingga regulasi yang kuat dan perlindungan lingkungan yang memadai tersedia. Sikap ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan.

Risiko Geopolitik: Menuju Pertarungan Global

Perebutan dominasi mineral laut dalam berpotensi mengguncang tatanan geopolitik global. Jika Tiongkok, sebagai penandatangan UNCLOS dan pendukung ISA, tampil sebagai “penegak hukum internasional” sementara Amerika Serikat, sebagai non-penandatangan, bertindak secara unilateral, ini dapat memperparah ketegangan diplomatik dan ekonomi. Konflik kepentingan atas akses dan regulasi bisa memicu perlombaan senjata bawah laut atau bahkan “Perang Dingin” baru di kedalaman samudra.

Keterlibatan militer, seperti yang diindikasikan oleh aktivitas Rusia, semakin memperumit situasi. Penguasaan infrastruktur bawah laut, baik untuk penambangan maupun komunikasi, akan menjadi aset strategis yang tak ternilai, berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan maritim global.

Ringkasan Perbandingan Aktor dan Dampaknya

Untuk memahami kompleksitas lanskap ini, mari kita bandingkan strategi dan risiko utama para pemain:

Pemain Strategi Risiko Utama
AS & The Metals Company Akses cepat & potensi bypass ISA Kritik internasional, merusak UNCLOS, risiko ekologis tinggi, konflik geopolitik.
Jepang Eksplorasi di ZEE sendiri, pengembangan teknologi Biaya tinggi, teknologi masih uji coba, potensi kerusakan lingkungan lokal.
Tiongkok & Rusia Infrastruktur riset, militerisasi, klaim dominasi Meningkatnya ketegangan geopolitik, potensi konflik militer, penguasaan jalur strategis.
Organisasi Lingkungan & Publik Advokasi perlindungan, tekanan moral & investor Terbatasnya pengaruh terhadap keputusan negara & perusahaan besar, keterbatasan regulasi.

Kesimpulan: Laut Dalam sebagai Arena Perang Dingin Baru

“Harta karun abisal” bukan sekadar metafora. Ini adalah realitas yang membentuk ulang geostrategi abad ke-21. Perebutan mineral dasar laut modern menciptakan kembali relung kekuatan global yang kini berpindah ke kedalaman laut. Ini bukan hanya tentang akses ke sumber daya, tetapi juga tentang penguasaan teknologi, penentuan norma internasional, dan potensi konflik yang belum terbayangkan.

Pengelolaan yang bijak dan kerja sama internasional yang kuat sangat penting. Kegagalan untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan akan mineral kritis, perlindungan lingkungan, dan penghormatan terhadap hukum internasional dapat memicu ketidakstabilan global yang berkepanjangan. Masa depan planet ini, baik di darat maupun di bawah laut, sangat bergantung pada bagaimana kita menavigasi “Perang Dingin Mineral” yang baru ini.